Saat ini, ada peningkatan ketertarikan secara global terhadap praktik pertanian urban atau lebih dikenal dengan urban agriculture (UA). Mayoritas ketertarikan tersebut didasari oleh semangat kepedulian terhadap lingkungan dengan mengurangi limbah dan menghemat energi transportasi karena dapat diaplikasikan pada skala perumahan. Sayangnya, kita perlu membuat pertimbangan dalam penggunaan sumber daya untuk memastikan praktik yang kita lakukan di kebun bisa mewujudkan ramah lingkungan.
Salah satu sumber daya yang perlu dipertimbangkan adalah konsumsi energi greenhouse. Konsumsi energi disini bukan hanya dari penggunaan listrik ya. Ada beberapa jenis sumber energi lain termasuk bahan bakar alat-alat mekanis, energi dari material pemupukan, penggunaan pestisida, dll. Biaya energi merepresentasikan >10% dari nilai pemasaran produk petani di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Nilai ini mungkin lebih tinggi di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan optimalisasi dalam pengurangan biaya energi, khususnya di greenhouse atau kebun para petani.
Beragam studi rata-rata meng-highlight bahwa pertanian urban bisa menghemat energi untuk transportasi dan menghindari penambahan limbah atau pangan yang membusuk selama proses distribusi. Namun, kita perlu sadar bahwa kebutuhan energi di kebun urban milik kita bisa saja tinggi jika kita tidak memanajemennya dengan baik. Karena itu, dalam postingan kali ini KebunPintar akan berbagi informasi terkait kebutuhan energi yang perlu dipertimbangkan pada kebun. Hal ini sangat menarik, apalagi jika kita mempertimbangkan ingin memperluas skala kebun.
Informasi yang akan dikaji dalam artikel kali ini berfokus pada daerah Jawa Barat, Indonesia. Provinsi ini adalah provinsi dengan penduduk paling padat dengan 43 juta jiwa penduduk (18,12% dari total populasi Indonesia). Tanah nasional di daerah ini juga mencakup 1,72% dari total tanah pertanian di Indonesia (3,7 juta ha). Dengan kondisi iklim dan tanah yang baik, provinsi ini menyandang provinsi penghasil beras dan produk hortikultura terbesar secara nasional. Jadi, tidak ada salahnya jika provinsi ini dijadikan patokan dalam bahasan konsumsi energi greenhouse pada kebun urban secara nasional.
Konsumsi Energi Greenhouse untuk Sistem Irigasi Pertanian Urban
Sistem irigasi di pertanian terbuka (metode konvensional) relatif lebih rendah dibandingkan sistem irigasi pertanian urban yang umumnya menggunakan air layak minum. Biasanya, air irigasi untuk pertanian urban membutuhkan proses treatment menggunakan mesin pertanian, sedangkan metode konvensional menggunakan sistem irigasi secara manual. Oleh karena itu, nilai konsumsi energi irigasi untuk pertanian urban biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti berikut:
- Jarak dari sumber irigasi menuju fasilitas treatment air irigasi sebelum disalurkan ke kebun.
- Kedalaman sumber (reservoir) air, khususnya jika menggunakan sumber air tanah atau air permukaan.
- Kebutuhan pemompaan irigasi (misal: berapa laju alir irigasi, spesifikasi pompa, dll.) Pada umumnya pompa yang digunakan secara praktis memiliki efisiensi mekanis maksimal 77%. Selain itu, semakin besar laju alir irigasi maka semakin besar beban konsumsi listrik dan bahan bakar pompa.
- Proses treatment seperti apa yang digunakan di kebun urban. Ketika proses treatment menggunakan proses desalinasi, maka diperlukan tambahan 9,3 – 15,7 MJ/m3 (Megajoule) jika kualitas airnya air laut dan 3,7 – 9,3 MJ/m3 jika kualitas airnya air tanah yang salinitasnya tinggi.
perbandingan neraca energi input dari sistem irigasi antara pertanian terbuka dengan greenhouse (pertanian urban) diringkas pada tabel di bawah ini. Dari data tersebut, rata-rata kebutuhan aliran irigasi untuk pertanian urban dengan menggunakan greenhouse lebih besar dibandingkan dengan pertanian terbuka. Pada greenhouse maksimal aliran irigasi dengan laju alir 915 m3/ha diperlukan pada kebun cabai, dua kali lipat lebih besar dibandingkan cabai pada pertanian terbuka. Pada kebun selada, nilai kebutuhan aliran irigasi sama antara pertanian terbuka dengan kebutuhan greenhouse. Karena kebutuhan aliran irigasinya besar, maka konsumsi energi untuk greenhouse bisa mencapai 584 MJ/ha (Megajoule) pada tanaman cabai, sedangkan pada pertanian terbuka maksimal konsumsinya 281 MJ/ha.
Konsumsi air irigasi dapat dihemat melalui penggunaan sistem budidaya yang lebih efisien penggunaan air (seperti sistem hidroponik). Namun, penelitian telah memodelkan bahwa meskipun kebutuhan air dapat dihemat oleh hingga 92% (dari 250 ke 20 L/kg per tahunnya), konsumsi energi meningkat hingga 8100% (dari 1,1 ke 90 MJ/kg per tahunnya). Konsumsi ini paling banyak terdiri dari: beban pemanasan (heating) dan pendinginan (cooling) sekitar 74 MJ/kg per tahunnya; pencahayaan buatan (dengan lampu LED, dsb.) sekitar 15 MJ/kg per tahunnya; dan pompa sirkulasi sekitar 0,64 MJ/kg per tahunnya. Hal ini mendemonstrasikan bahwa kita perlu mempertimbangkan bukan hanya dari sisi penggunaan air irigasi saja. Perlu ada keseimbangan (trade off) bila kita ingin mempertimbangkan dampak lingkungan dan efisiensi penggunaan sumber daya di kebun.
Salah satu alternatif untuk mengefisienkan konsumsi sumber daya terkait sistem irigasi kebun adalah dengan mengganti air irigasi dengan pengolahan air limbah. Proses treatment air limbah (wastewater) dapat mengurangi volume air limbah dan mengurangi konsumsi energi bersih kebun karena menghindari penggunaan air untuk minum dan diganti dengan proses penjernihan air limbah. Proses yang diuji di California dan Massachusetts diestimasi membutuhkan rata-rata 1,7 dan 2,4 MJ/m3 air limbah. Konsumsi ini bahkan punya potensi untuk berkurang jika fasilitas treatment air limbah dilokasikan dekat dengan kebun urban. Hal ini dapat mengurangi konsumsi energi dari proses pengangkutan dan efisiensi jarak antara sumber air limbah dengan kebun yang menjadi target irigasi.
Konsumsi dari Proses Heating dan Cooling Pertanian Urban
Seperti pada penjelasan sebelumnya, proses pemanasan dan pendinginan sekitar greenhouse bisa mengonsumsi 74 MJ/kg atau sekitar 82% dari total konsumsi energi greenhouse keseluruhan. Kebutuhan pemanasan atau pendinginan tergantung pada kondisi pencahayaan di sekitar greenhouse.
Jika dalam suatu daerah proporsi cahaya datang yang dipantulkan ke permukaan terlalu dominan, maka dampaknya penyerapan dari radiasi oleh greenhouse akan tinggi dan terjadi kenaikan suhu greenhouse melebihi temperatur lingkungan yang seharusnya. Dalam hal ini, kebutuhan energi untuk pendinginan (cooling) akan semakin tinggi. Kebun yang disituasikan di dalam suatu bangunan (buildings) menunjukkan potensi penurunan kebutuhan pendinginan daripada kebun terbuka. Penurunan ini berkisar 22 – 44% (atau sekitar 1 oC).
Penelitian lain (oleh Scott Sanford, 2011) juga menyatakan bahwa penting untuk menyadari bahwa harus ada trade-off (penyeimbangan/penyetaraan) antara kebutuhan agronomis kebun yang melingkupi varietas tanaman dengan penghematan ekonomis oleh beragam opsi yang lebih efisien energi. Sebagai contoh: jika kita mempertimbangkan menambahkan lapisan material kaca pada greenhouse, kita juga harus mempertimbangkan seberapa besar penghematan energi (untuk cooling) dan lama dari siklus panen (mulai dari penyemaian). Menjaga greenhouse pada temperatur yang relatif rendah dapat mengurangi kebutuhan energi untuk cooling, namun jika suhu yang dijaga dibawah rentang nilai yang optimal maka dapat memperpanjang masa pertumbuhan tanaman dan meningkatkan biaya untuk produksi.
Konsumsi dari Proses Pengomposan Lahan, Penggunaan Pestisida, dan Pemupukan di Kebun
Konsumsi energi dari proses pemupukan di kebun adalah salah satu jenis energi yang tidak langsung (indirect) karena yang terlibat adalah proses kimia yang perhitungan energinya tidak bisa dihitung dengan metode fisik. Oleh karena itu, digunakan metode lain dimana perhitungan konsumsi energinya akan dikonversi menjadi energi fisik. Secara ringkas, perkiraan kebutuhan untuk proes pengomposan dan pemupukan ada pada tabel dibawah ini:
Dari semua jenis konsumsi, konsumsi energi terbesar per satuan luas lahan kebun (greenhouse) adalah penggunaan bahan kimia seperti pupuk, pestisida, dan kompos. Pupuk kimia menempati konsumsi tertinggi di wilayah pertanian Sukabumi (Jawa Barat), yakni sekitar 31,98% pada cabai diikuti oleh penggunaan pestisida sebesar 21,57% dari total konsumsi energi per hektar lahan. Pada kondisi tanah yang buruk, produksi pangan pasti membutuhkan input pupuk kimia lebih banyak. Namun, secara keseluruhan, total konsumsi energi untuk penggunaan pupuk kimia adalah yang ketiga terbesar setelah proses heating dan cooling dan isolasi energi dalam greenhouse.
Total kompos yang diperlukan untuk tomat, cabai, dan selada berkisar dari 10 – 30 ton/ha lahan. Kompos ini diaplikasikan selama proses preparasi (persiapan) lahan untuk greenhouse. Karena proses pengomposan ini membutuhkan energi dari penggunaan alat, bahan bakar, dan tenaga manusia maka kebutuhan ini juga termasuk salah satu yang besar.
Ketiga sektor konsumsi energi yang telah dijelaskan sebelumnya merepresentasikan konsumsi energi terbesar yang perlu dipertimbangkan ketika kita mengelola kebun atau greenhouse-mu. Pengembangan skala pertanian urban (dalam hal ini luasan greenhouse) tentunya akan membutuhkan sumber air irigasi, kalor, dan bahan kimia yang semakin besar juga. Semakin memperluas kebun, maka semakin banyak kebutuhan irigasi untuk tanaman-tanaman di kebun. Selain itu, kita juga memerlukan energi untuk proses pemanasan atau pendinginan agar menjaga suhu greenhouse pada rentang nilai optimum. Penggunaan bahan kimia pertanian (seperti pupuk, pestisida, dan kompos) tentu juga akan meningkat seiring semakin luasnya kebunmu.
Jadi, perluasan kebun bukan berarti hanya produksi panen kita bisa meningkat. Kita juga perlu mempertimbangkan pentingnya dampak peningkatan konsumsi energi agar kita dapat mencari cara untuk mengefisienkan penggunaannya dan menghemat pengeluaran secara ekonomis. Beberapa alternatif yang dipaparkan pada artikel ini dapat dipraktikkan dikebun untuk mengefisienkan konsumsi energi di kebun. Semoga insight dari artikel ini membantu.
Artikel berikut mungkin membantumu meningkatkan efektivitas kebun urban:
RoboTani, Solusi Pintar Tingkatkan Efektifitas Kebun Petani Urban
Untuk bacaan lebih lanjut, bisa mengacu pada beberapa referensi berikut:
- Comparative energy input & output and financial analyses of greenhouse and open field vegetables production in West Java, Indonesia
- Considerations for reducing food system energy demand while scaling up urban agriculture
- Reducing Greenhouse Energy Consumption – An Overview
- Comparison of Land, Water, and Energy Requirements of Lettuce Grown Using Hydroponic vs. Conventional Agricultural Methods