Istilah plant-based food semakin populer. Nestlé melaporkan bahwa 87% masyarakat Amerika sekarang sudah beralih dari produk daging dan menyertakan protein nabati dalam diet mereka. Namun, apa yang membuatnya demikian? KebunPintar merangkum 3 alasan dibalik populernya istilah ini.
Plant-based food saat ini sedang booming di seluruh dunia. Dengan bantuan Google Trends, kita bisa melihat Indonesia termasuk salah satu negara yang paling sering menelusuri istilah ini. Mungkin dari namanya saja sudah bisa ditebak, kan? Ya, plant-based food berarti kita fokus pada makanan yang sumbernya dari tumbuhan: sayuran, buah, kacang, gandum, dll. Tapi, perlu kita garisbawahi ya, plant-based food bukan berarti vegetarian atau vegan. Orang-orang hanya mengurangi konsumsi produk daging olahan atau susu dalam diet.
Data dari Nestlé menyebutkan bahwa sekitar 87% orang Amerika sekarang menyertakan protein nabati di dalam diet mereka. Kita tahu bahwa sejak tahun 1990-an, Amerika terkenal dengan makanan berbasis daging. Jadi, perubahannya sangat signifikan bukan? Lantas, apa yang mendasari plant-based food semakin populer? Kali ini, KebunPintar merangkum 3 alasan berikut.
Dampak Plant-Based Food Terhadap Kesehatan
Jika kamu lebih menyukai menonton, maka film The Game Changer sangat direkomendasikan untuk ditonton. Film dokumenter ini pada intinya menggali beragam manfaat kesehatan dari pola diet makanan nabati dibandingkan produk daging atau susu. Dr. Robert Vogel dalam film ini menguji hubungan antara pola makan tiga orang atlet terhadap perubahan pada lapisan pembuluh darah. Hasilnya, orang yang mengonsumsi makanan berbasis daging memiliki plasma darah yang lebih keruh dibandingkan yang mengonsumsi makanan nabati. Warna keruh adalah tanda bahwa ada lapisan lemak yang mempersempit lapisan pembuluh darah dan akhirnya menghambat aliran darah dalam tubuh. Tidak heran kalau mereka yang mengonsumsi produk daging akan lebih berisiko terkena penyakit jantung, mudah kelelahan, dan staminanya lebih rendah.
Makanan nabati justru punya kandungan antioksidan 64 kali lebih tinggi dibandingkan produk daging. Kandungan tersebut bisa mempercepat pemulihan tubuh dari kelelahan sebesar 29%. Selain itu, makanan nabati juga terkait dengan produksi hormon kortisol. Hormon ini adalah hormon yang mempengaruhi tingkat stres seseorang. Semakin banyak diproduksi, seseorang akan semakin mudah stres. Dengan konsumsi makanan nabati berkarbohidrat tinggi, tingkat kortisol bisa berkurang hingga 27%. Dengan kata lain, makanan nabati bisa mempengaruhi mood dan performa aktivitas harian kita. Namun, beberapa nutrisi esensial seperti vitamin B12 tidak bisa kamu peroleh dari makanan nabati. Oleh karena itu, cara terbaik agar melengkapi kebutuhan tersebut adalah dengan mengonsumsi suplemen.
Keberlanjutan Kehidupan Lautan dan Isu Climate Change
Masalah mengenai keberlanjutan kehidupan di lautan baru-baru ini diangkat juga oleh film dokumenter berjudul Seaspiracy. Film yang keluar Maret 2021 ini mengungkapkan bahwa masalah terbesar di lautan adalah penangkapan ikan. Masalah perubahan iklim juga dikaitkan dengan berkurangnya populasi ikan setiap tahun akibat penangkapan komersial maupun ilegal. Laporan International Monetary Fund (IMF) dalam United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2019 menyatakan bahwa paus berperan dalam proses penangkapan karbon dari atmosfer. Setiap paus besar rata-rata menyerap 33 ton karbon dioksida selama hidupnya (rata-rata sekitar 200 tahun). Dimana ada paus, disitu juga ditemukan fitoplankton. Makhluk kecil ini bisa menghasilkan oksigen yang diproses dengan memanfaatkan hasil ekskresi kotoran paus. Fitoplankton menyumbang setidaknya 50% dari total oksigen di atmosfer. Jadi, semakin banyak paus maka semakin banyak pula oksigen.
Masalahnya, ancaman terbesar paus adalah penangkapan ikan besar-besaran. Memang paus tidak dicari oleh nelayan untuk dijual atau dimakan. Namun, paus seringkali menjadi korban “bycatching” atau tangkapan sampingan yang baru dilepas setelah mati. Parahnya, paus dilepas dengan kondisi jaring dibiarkan terlilit di tubuh atau sudah berada di dalam perut. Tidak heran, kabar-kabar yang sering muncul mengenai paus terdampar sebenarnya sangat terkait dengan fenomena bycatching ini. Memang keberadaan plastik di lautan juga salah satu penyebab banyak paus terdampar. Namun, sampah plastik yang dominan ditemukan adalah jaring penangkap ikan yang mencapai 40% dari total sampah plastik di lautan. Oleh karena itu, salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengurangi (bahkan menghentikan) konsumsi ikan dan beralih ke plant-based food.
Disisi Lain, Kebutuhan Pangan yang Meningkat Setiap Tahun
Populasi penduduk Indonesia saat ini sudah mencapai 275,8 juta jiwa. Lembaga Aktivitas Populasi PBB (UNFPA) memproyeksikan populasi akan meningkat hingga 305 juta jiwa pada 2035, meskipun laju peningkatannya lebih lambat. Selain itu, penduduk yang beralih ke perkotaan hingga tahun tersebut juga semakin meningkat. Dampaknya, sudah pasti kebutuhan akan pangannya semakin tinggi.
Salah satu kendala besar pangan di Indonesia adalah proses distribusinya. Wilayah Indonesia luas dan distribusi pangan ke semua wilayah membutuhkan jarak yang jauh dan waktu lama agar sampai ke penduduk. Selama di perjalanan, pasti akan ada makanan yang busuk terbuang dalam jumlah yang besar. Akibatnya, akses makanan menjadi lebih sulit dan pada akhirnya penduduk menerima makanan dibawah standar. Dalam kondisi seperti ini, seharusnya muncul kesadaran untuk memproduksi makanan sendiri untuk efisiensi dan keberlanjutan pangan di Indonesia. Salah satu bentuk yang paling populer dari solusi ini adalah munculnya konsep urban farming.
Sejauh Mana Kita Bisa Berperan?
Plant-based food populer sebagai respon untuk menyesuaikan antara kebutuhan pangan manusia yang meningkat setiap tahun, namun tetap menjaga keberlanjutan lingkungan. Kita perlu mencari beragam solusi untuk efisiensi dan keberlanjutan. Metode urban farming seperti hidroponik adalah salah satu cara untuk memproduksi makanan sendiri dengan beragam kelebihan. Kamu bisa memaksimalkan ruang sempit dan tetap produktif, bisa menyesuaikan sendiri kondisi lingkungan untuk merawat kebun, menghemat sumber daya, dll. Bayangkan, setiap keluarga di sekitarmu mulai berbudidaya hidroponik sendiri, akankah kita khawatir akan stok makanan kita di waktu mendatang?
Simak juga: Hidroponik Sederhana untuk Kebun Skala Rumahan
Dengan meningkatnya pasar makanan nabati, sepertinya kebutuhan produksi di bidang pertanian atau urban farming akan semakin tinggi. Meningkatnya kebutuhan produksi pangan berarti membutuhkan lebih banyak pelaku, yakni petani. Kita sering mendengar beberapa motivasi umum yang mendorong para petani melakukan urban farming. Kebanyakan orang akan menjadikan urban farming sebagai pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan keluarga. Ada juga yang memanfaatkan waktu luang ketika libur kerja atau sebelum berangkat kerja untuk mengecek kebun. Sebagian kecil sisanya karena merasa perlu memanfaatkan lahan kosong dan menyalurkan hobi bertani. Namun, dengan populernya konsep plant-based food, setidaknya 3 alasan tersebut mungkin semakin meyakinkanmu mengapa bertani semakin diperlukan.